<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/14464862?origin\x3dhttp://oedhienx.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Skip to: site menu | section menu | main content

 

Currently viewing: Selamat datang dan Terima kasih »

Blog ini dibuat hanya untuk mengisi waktu luang dan sekedar untuk pengjibur diri menghilangkan rasa penat dan bosan dalam hari-hari ku di perantauan.

Terimakasih kepada teman-teman yang telah sudi meluwangkan waktu tuk berkunjung ke blog ku ini.

Wassalam

 

Terbaru:

Arsip:

Channel:

Wednesday, April 26, 2006

Ajal

PEREMPUAN! Lagi-lagi, makhluk lemah ciptaan Tuhan itu disoal. Dari seorang istri guru yang tergaruk tramtib Tangerang, karena pukul tujuh malam masih ''keluyuran'' dan disimpulkan jalang, sampai terbitnya Playboy yang menempatkan perempuan sebagai objek utama.

Ada pula kisah artis Nia Paramitha-Gusti Randa. Sembilan tahun menikah, punya empat anak, jauh dari gosip, eh, tahu-tahu: mak bleng! Nia hamil dan keguguran. Padahal, Gusti sudah lama tak ''menyentuh''. Bahtera itu pun terancam ambruk.

Di satu pihak, martabat perempuan sering tersudutkan wilayah privat mereka, dan di pihak lain distempel sebagai sumber penggoda pria. Artinya, godaan itu tidak muncul dari imajinasi laki-laki, melainkan dari kesalahan: ''Kamu bertubuh sensual, sih?''

Dulu, orangtua kita tak jemu menasihati: ''Berkeluargalah biar membawa berkah.'' Cari dan temukan maknanya! Tapi jangan sekadar mengumbar cinta, seperti masa pacaran, yang rindunya tak berkesudahan. Cinta itu buta: yang pahit jadi manis, yang buram jadi terang, dan yang tuan jadi budak.

Dalam Islam dikatakan bahwa keluarga adalah amanah dan titipan Allah. Para ustad juga mewanti-wanti: ''Perempuan itu selalu dekat dengan dosa. Jaga dirimu dari gejolak tidak patut dari dalam diri.'' Juga dari gerayangan mata pria. ''Fitnah, celaka, atau berkah, itu semua tergantung kamu!''

Baik pria maupun wanita sebenarnya ada dalam keunikan masing-masing. Seperti dimetaforakan sufi Andalusia Ibn 'Arabi; laki-laki bagaikan langit yang memberi, sedangkan perempuan adalah bumi yang menerima. Langit butuh bumi, karena tanpa bumi apalah arti curahan hujan serta bintang-bintang di langit.

Ibn 'Arabi mengatakan bahwa ''penampakan'' Tuhan terjadi paling sempurna pada diri perempuan. Perempuan itu mulia, dan tak sekadar dimuliakan. Ke-rahim-an perempuan menandakan ke-rahim-an Tuhan, yang menyejukkan dunia dengan kehangatan kasihnya (majalah Basis).

Hidup itu sendiri adalah proses. Hidup merupakan pilihan prioritas. Para nabi suka membahagiakan orang lain, tapi kala dalam kesendirian dia dapat menangis. Ia sedih dan prihatin pada umatnya. Tiket menuju surga memang tak mudah.

Ingat kisah Tsa'labah al-Anshari di zaman Muhammad SAW. Waktu Perang Tabuk, Sa'id bin Abdurrahman pergi berperang. Dititipkanlah keluarganya pada Tsa'labah. Adiknya itu yang sehari-hari mencarikan kayu bakar dan menimba air. Saat di rumah, bisikan iblis masuk telinga Tsa'labah: ''Lihatlah yang ada di bawah selimut itu!''

Tsa'labah pun menyingkapkannya. Tampak istri saudaranya yang cantik tengah tertidur. Gelora syahwatnya bangkit. Ia pun menyalurkan nafsunya. Istri Sa'id berkata: ''Wahai Tsa'labah, engkau tidak memelihara kehormatan keluarga saudaramu yang sedang berjuang di jalan Allah.''

Sadarlah Tsa'labah bahwa ia telah berbuat dosa besar. Lalu ia berlari menuju bukit sembari menjerit-jerit penuh penyesalan. ''Ya, Tuhanku. Engkau adalah Zat yang memberiku ampunan. Aku benar-benar orang yang berdosa,'' katanya.

Usai perang, pasukan Nabi SAW disambut suka-cita. Tapi tak satu pun keluarga Sa'id tampak. Tiba di rumah, ia menanyai istrinya: ''Istriku, apa yang telah terjadi? Apa yang diperbuat saudaraku?'' Dengan berat hati dijawab: ''Ia telah menjatuhkan dirinya ke lembah teramat hina. Ia sekarang berlari ke bukit sana.''

Di bukit itu, tampak Tsa'labah menelungkupkan badan sembari menghinakan diri. Ia mengakui dosa-dosanya. ''Bangunlah saudaraku! Aku sudah tahu apa yang terjadi,'' kata Sa'id. Jawab adiknya, ''Aku bukanlah orang yang pantas berdiri di hadapanmu, sampai engkau membelenggu tanganku di atas kepalaku, dan menyeretku laksana seorang majikan menyeret budaknya.''

Permintaan itu dituruti. Sa'id membawanya ke rumah sahabat Umar bin al-Khathab. Di sana, Tsa'labah dihardik dan disuruh keluar. ''Keluar! Tidak ada tobat bagimu!'' Hal yang sama dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq: ''Mana mungkin ada pintu tobat bagimu! Enyahlah dari hadapanku!'' Perlakuan serupa ditunjukkan Ali bin Abi Thalib.

Maka, dengan putus asa, Tsa'labah mengatakan pada anaknya, ''Wahai putriku, mereka benar-benar membuat aku putus asa. Aku berharap Rasulullah SAW menerimaku.'' Ternyata, Rasul pun marah. ''Engkau mengingatkan aku pada rantai dan belenggu neraka jahanam. Enyahlah dari hadapanku!''

Dunia seakan runtuh. Hidup ini terasa lebih pahit. Tsa'labah pun kembali lari ke bukit, mengadu dan memohon ampunan Allah. Berhari-hari ia bersuara lantang, menghinakan diri laksana seorang yang durhaka pada Tuhannya.

Turunlah malaikat yang membisikkan pada Nabi bahwa Allah telah mengampuni Tsa'labah. Atas dasar itu, ia pun dijemput untuk dihadapkan pada Muhammad SAW. ''Beliau suka padamu, sama seperti Allah suka padamu,'' ujar si penjemput. Tsa'labah pun menemui Nabi SAW. Tapi waktu salat magrib telah tiba.

Dalam salatnya, Rasul membaca ayat: al-hakumut takatsur. Kala tiba pada bacaan hatta zurtumul maqabir, tiba-tiba Tsa'labah yang berada di saf belakang menjerit keras, lalu meninggal. Usai salat, Rasul memercikkan air ke wajahnya.

Jenazah Tsa'labah dimakamkan. Rasul pun melayat sampai kubur, sembari jalan berjingkat-jingkat. Mengapa, ya, Rasulullah? ''Aku tidak dapat meletakkan kakiku, karena banyak malaikat ikut menyaksikan penguburan Tsa'labah,'' jawab Nabi SAW (Antara Ahli Surga dan Ahli Neraka­ --dari Taubih al-Ghafilin).

Sesungguhnya, jalan spiritual tetap terbentang pada diri tiap orang, sebelum ajal menjemput. Yang salah belum tentu salah jika dalam proses ia menjadi benar, dan yang benar pun belum tentu selalu benar. Itulah misteri hidup!

Widi Yarmanto
widi@gatra.com

[Esai, Gatra Edisi 23 Beredar Senin, 17 April 2006]

Back to top